Entri Populer

ARSIP

27 Sep 2010

HIDUP SETELAH RAMADHAN

Saya Sarankan Anda Baca Juga



Oleh : Restu Ashari Putra

Setiap orang pasti akan mati.
Namun, tidak setiap orang benar-benar hidup.
(Braveheart)
Kembali menata hati, menata kekuatan dan menata diri. Setelah Ramadan berlalu, tak ada salahnya kita manfaatkan waktu yang ada dengan sebaik-baiknya. Andai kita merasa Ramadan yang telah kita lalui seperti berlalu sia-sia, toh Allah lebih mengetahui siapa yang benar-benar kembali padaNya.
Oleh karenanya kita kembalikan lagi jenak-jenak kesadaran kita. Paksakan! Karena adakalanya menjadi baik itu perlu dipaksa. Tanyakan kembali siapa diri kita. Dan kembalilah pada diri sejati kita. Kalau tidak begitu, kita akan lelah.
Berjalanlanlah dengan keadaan kita yang sebenarnya. Tampillah apa adanya. Energi positif kita akan muncul saat kita berusaha jujur dengan diri kita sendiri. Maka dari situlah lahir kesederhanaan. Apa yang kita miliki bukanlah milik kita. Tapi berusahalah manfaatkan, jaga dan berdayakan dengan sebaik-baiknya. Sesuatu yang kita cintai, seseorang yang kita sayangi, berbuatlah semaksimal mungkin untuknya. Pengabdian kita pada Pencipta semesta, lakukanlah seutuhnya dengan kekuatan setinggi-tingginya, karena dari sanalah pengabdian dan kepedulian pada semesta sekitar kita sesungguhnya akan lahir.
Ada kalanya hal yang membuat kita untuk terdiam, merenung, memikir ulang apa yang telah kita lakukan dan jalani, mampu membuat kita terjaga dari ego-ego yang dapat membunuh kita, bahkan menguras habis tenaga kita.
Sadarlah bahwa sebenarnya kita ini bukan apa-apa. Kita ini bukan apa-apa kalau saja tidak ada yang menjadikan diri kita ini “apa-apa”. Maka sesuatu yang datang menjadi misteri “apa-apa” itu jadikanlah saat untuk lebih memberdayakan dan mengembangkan diri kita. Tidak ada yang terlambat dan tak ada yang tak mungkin. Meski kita tak bisa menuntut kesempurnaan seutuhnya. Namun kita bisa meraih kebaikan sebanyak-banyaknya. Karena kesempurnaan hanyalah milik Dia Sang Penguasa Alam semata.
Maka dari itu sangat naïf sekali kalau kita tiba-tiba menjadi sombong dengan apa-apa yang baru saja kita miliki. Apalagi kalau kita merasa kita telah melewati bulan suci dengan merasa sempurna, lantas kita telah merasa suci.
Akar dari kesombongan sebenarnya adalah ego yang berlebihan dan tidak pada tempatnya. Menurut Arvan Pradiansyah, seorang ahli kepemimpinan, diri kita sebenarnya terdiri atas dua kutub, yaitu ego di satu sisi dan diri sejati di sisi lainnya. Perjalanan hidup seringkali mengantarkan kita menuju kutub ego. Perjalanan inilah yang memperkenalkan kita kepada kesombongan, kerakusan, serta iri dengki. Nah, ketiga sifat inilah yang menjadi akar permasalahan yang terjadi dalam sejarah umat manusia. Terpuruk pada karat kehancuran karena sudah tak mengenal lagi diri sejatinya. Maka untuk melawan itu semua ada paradigma yang harus diubah dalam cara pandang kita terhadap hidup.
Pertama, kita harus kembali menyadari bahwa hakikat kita sebagai manusia adalah diri sejati. Kita terlahir ke dunia sepenuhnya berada pada kutub diri sejati. Kita tidak membawa apa-apa. Kita terlahir telanjang tanpa sehelai kain pun di badan. Tetapi seiring perjalanan waktu, hidup menuntut kita untuk memenuhi kebutuhan materi. Bahkan bisa jadi lebih dari materi yang kita butuhkan, hanya karena memenuhi ego belaka. Maka sekali lagi ditegaskan bahwa kita adalah diri sejati. Kita bukanlah makhluk fisik tetapi makhluk spiritual.
Diri sejati kita adalah spritualitas, sementara tubuh fisik adalah syarat untuk hidup di dunia saja. Seperti yang dikatakan Telihard de Chardin, seorang filsuf Prancis, bahwa “kita bukanlah makhluk manusia yang mengalami pengalaman-pengalaman spiritual, melainkan kita adalah makhluk spiritual yang mengalami pengalaman-pengalaman manusiawi. Kita adalah makhluk spiritual yang sedang menempati rumah kita di bumi.”
Oleh karena itu dengan menyadari sepenuhnya akan diri kita, cara pandang hidup spiritual akan membuat hidup kita semakin berkembang. Kita semakin terpacu untuk meningkatkan diri tanpa terkungkung dengan keinginan-keinginan yang merusak harga diri kita sebagai makhluk spiritual.
Anda tidak percaya? Silahkan simak paradigma kedua yang perlu kita ubah dalam pandangan hidup kita. Yaitu, kita perlu menyadari pula bahwa apapun perbuatan baik yang kita lakukan, semuanya semata-mata adalah untuk kita dan kembali pada kita sendiri. Dengan sikap ini membuktikan bahwa kita telah berusaha melawan ego diri kita untuk menarik pada kutub diri sejati. Ketika kita berbuat untuk kebaikan orang lain ataupun berbagi kebahagiaan pada orang lain dengan kerelaan tulus ikhlas, secara tidak langsung telah menegaskan bahwa kita berusaha kembali pada garis diri sejati.
Dan anda tahu, untuk melakukan itu semua (perbuatan baik), kita akan terus memacu diri kita untuk semakin lebih baik. Itu artinya kita terus mengembangkan segenap potensi diri kita ke arah lebih baik dan progresif. Secara tidak langsung kehidupan kita adalah progresivitas (kemajuan) saat kita mengubah paradigma hidup kita sebagai diri sejati.
Sehubungan dengan paradigma kedua, dalam hidup ini berlaku hukum kekekelan energi: energi yang kita berikan pada dunia tidak akan pernah hilang. Maka sebagaimana kita berbuat baik, kebaikan itu akan kembali pada kita dalam bentuk yang lain. Kebaikan itu lebih jauh akan kembali dalam bentuk persahabatan, cinta kasih, perasaan bermakna, dan kepuasan batin yang mendalam.
Dari sinilah mengapa banyak orang yang rela hidupnya dihabiskan untuk berbagi dengan orang lain meski kehidupan seseorang itu biasa-biasa saja dalam pandangan kita. Tapi itulah hakikat hidup “orang besar” sesungguhnya, yaitu bagaimana hidup bisa bermakna untuk dunia, terlebih kehidupan setelahnya. Kebahagiaan baginya adalah ketika dia bisa membahagiakan orang lain.
Dasar itu semua adalah bahwa Allah SWT telah menegaskan dalam firman-Nya, “jika kamu berbuat baik, (berarti) kamu berbuat baik untuk dirimu sendiri. Dan jika kamu berbuat jahat maka itu untuk dirimu sendiri…” (QS 17: 7).
Maka melewati hari-hari setelah Ramadhan ini. Tidak ada kata terlambat untuk semakin menghadirkan diri sejati kita agar perjalanan waktu kita ke depan menjadi lebih baik dan semakin benar-benar hidup.(*)
Sumber : Kompasiana
http://baisamusthafa.blogspot.com/

Komentar :

ada 0 komentar ke “HIDUP SETELAH RAMADHAN”

PERLU ANDA BACA

IKBAL JAKARTA

SMS

KIRIM SMS GRATIS
 

Berita Utama | Nasional

YAHOO PIPES

BERITA TERBARU

Editor template ibnuhasbie | Untuk template Catatan Harian